Penamadura, Sumenep 02 Februari 2021-Dalam seminggu ini, angka penderita Covid-19 tembus angka 1 juta lebih secara nasional. Angka ini masih diperkirakan terus merangkak naik karena jumlah kasus perhari semakin bertambah.
Sejak awal, pemerintah berusaha mengendalikan penyebaran Covid-19 ini dengan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan terbarunya adalah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dibeberapa daerah khususnya di Jawa-Bali. PPKM ini yang rencananya berakhir pada 25 Januari diperpanjang hingga 8 Februari 2021. Di Jatim, PPKM berlaku di 11 Kabupaten/Kota.
Namun melalui Keputusan Gubernur Jatim dengan Nomor 188/11/KPTS/013/2021 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Jatim Nomor 188/7/KPTS/013/2021 Pemprov Jatim menambah empat daerah baru, yakni Mojokerto, Kota Mojokerto, Kediri, dan Nganjuk per 13 Januari 2021. Daerah yang melaksanakan PPKM tahap 2 ini adalah daerah yang telah ditetapkan sesuai dengan instruksi Mendagri, serta memenuhi 4 kriteria dari KCPEN dan masuk dalam zona merah sesuai dari gugus tugas covid nasional. Atas dasar ini, PPKM yang berlaku di Jatim sebanyak 17 Kabupaten/Kota.
Langkah lain yang dilakukan oleh Provinsi Jawa Timur dan kab/kota adalah membangun Rumah sakit darurat dan rumah sakit lapangan. Termasuk bekerja sama dengan beberapa hotel untuk dijiadikan tempat isolagi bagi OTG (Orang Tanpa Gejala). Langkah pemerintah daerah ini merupakan amanah dari UU Rumah Sakit No 44 tahun 2009 Pasal 6 ayat 1 huruf (a) yang berbunyi : Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menyediakan Rumah Sakit berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Tetapi dilapangan sering didapatkan beberapa Rumah Sakit selalu penuh kalau dihubungi oleh masyarakat yang ingin berobat sejak pandemi covid 19 ini berlangsung. strategi yang diterapkan oleh pemerintah juga masih belum mampu menekan penyebaran kasus baru covid 19 yang setiap hari mengalami lonjakan. Belum lagi keterbatasan ruang perawatan diRumah sakit dan ICU belum sepenuhnya bisa diatasi oleh beberapa Rumah Sakit. Sebenarnya penuhnya Rumah sakit sudah disampaikan oleh .Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan tempat tidur di ruang ICU dan isolasi di rumah sakit untuk perawatan pasien Covid-19 bakal penuh hingga Februari 2021.
Ia pun meminta kasus positif Covid-19 tanpa gejala melakukan isolasi mandiri di rumah.
Aspek preventif dan edukasi juga dilakukan melalui seluruh Puskesmas di Surabaya yang aktif melakukan konselor dan penyuluhan di tingkat RT dan RW untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Hal ini tertuang dalam UU Kesehatan No 36 th 2009 Pasal 7 Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab
Peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Frilasita Aisyah Yudhaputri menilai langkah pemerintah menerapkan PPKM di Pulau Jawa Bali sudah bisa membantu menurunkan beban Rumah Sakit. Meski begitu, beban bagi rumah sakit dalam realitasnya tidak menurun signifikan. Justru di beberapa rumah sakit di Jatim harus mengambil kebijakan dengan menolak pasien.
Hal ini terjadi karena lonjakan pasien yang cukup banyak dan membuat ruang perawatan rumah sakit menjadi penuh. Hal ini tentu saja membuat banyak pasien yang lain baik dengan gejala covid maupun tidak merasa dirugikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah tindakan rumah sakit dengan menolak pasien ini dibenarkan secara hukum?
Menurut Pasal 32 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam keadaan darurat, fasilitas Kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Di ayat (2) ditegaskan pula bahwa fasilitas pelayanan Kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar menuturkan, pihak RS wajib menangani pasien dalam kondisi apapun. Bila itu tidak diterapkan, maka pemerintah sudah sepatutnya memberikan sanksi tegas berupa pencabutan izin. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Rumah Sakit, UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, dimana peraturan perundang-undangan tersebut menyatakan rumah sakit tidak boleh menolak pasien, apalagi dalam kondisi wabah.
Menurut Pasal 29 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan setiap rumah sakit berkewajiban memberi pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit; memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. Pelanggaran terhadap kewajiban ini dikenakan sanksi administratif berupa: teguran, teguran tertulis, denda atau pencabutan izin rumah sakit. Secara normatif sesuai amanat UU Rumah Sakit, bagi rumah sakit yang menolak pasien akan berhadapan dengan sanksi administratif.
Tak hanya sanksi administratif, Pasal 190 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur mengenai sanksi pidana. Sanksi ini berlaku bagi pimpinan fasilitas fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat. Sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Sementara di Pasal 190 ayat (2). Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Atas dasar itulah, rumah sakit diharapkan melakukan penambahan tempat perawatan dan sumber daya manusia sehingga semua lapisan masyarakat bisa terlayani dengan baik. Termasuk menghimbau kepada masyarakat untuk selalu menjadi diri sendiri, mengikuti protokol kesehatan, dan tidak melakukan mobilitas yang berlebihan.
Dari segi pembiayaan Rumah sakit. Seharusnya pemerintah mampu untuk membangun fasilitas pelayanan kesehatan yang bisa memberikan pelayanan pada seluruh masyarakat hal itu tertuang dalam UU Rumah Sakit No 44 tahun 2009 Pasal 48 ayat (1)Pembiayaan Rumah Sakit dapat bersumber dari penerimaan Rumah Sakit, anggaran Pemerintah, subsidi Pemerintah, anggaran Pemerintah Daerah, subsidi Pemerintah Daerah atau sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(Man/red)
Penulis Matlilla, Anak Pulau, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya