Pena Madura, Sumenep, 21 Januari 2021 – Sangat mengerikan! Itulah ungkapan yang pas jika batu fosfat dipaksakan ditambang. Tak ada manfaatnya bagi masyarakat kecuali hanya bencana, mulai dari kekeringan, hilangnya kesuburan tanah hingga tandusnya wilayah bekas pertambangan fosfat.
Tapi mengapa Pemerintah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, membidik kekayaan fosfat untuk dilakukan penambangan dengan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)?!
Terkait fosfat, aktivis lingkungan dari Barisana Ajaga Tana Ajaga Na’poto (BATAN) Sumenep menjelaskan dampak lingkungan yang akan terjadi jika fosfat diekploitasi.
Iskandar Zulkarnain, aktivis BATAN yang juga dosen di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menjelaskan, areal fosfat merupakan areal batu sebagai serapan air. jika fosfat ditambang akan mengganggu sumber air dan ancamannya adalah kekeringan.
Jika itu terjadi akan mengancam penduduk Sumenep yang mayoritas petani. selain itu, bekas pertambangan fosfat hanya akan jadi wilayah hantu yang tidak akan bisa ditolong lagi.
“Wilayah fosfat itu merupakan wilayah sumber pengairan, sederhananya ketika sumbernya dihabisi maka secara otomatis sumber air untuk sawah, untuk penduduk akan habis. Itu jangka panjangnya,” katanya, Kamis (21/1/2021).
Berdasarkan kajiannya, dimanapun pertambangan yang muncul pasti kerusakan lingkungan. Ini terjadi hampir diseluruh wilayah yang ditambang, contoh sederhananya Kalimantan dan Sulawesi saat ini.
“Secara ilmiah bekas lahan pertambangan itu disebut area Ghost Town, kota hantu atau daerah mati. Awalnya akan jadi pusat perekonomian tapi ketika sumber dayanya habis maka itu akan hilang. Yang tersisa hanya bangunan-bangunan tua dan lubang-lubang bekas pertambangan. Itu sangat mengerikan karena itu tidak bisa dialihfungsikan lagi,” jelasnya.
Aktivis yang juga aktif di Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) itu melanjutkan, jika kekayaan fosfat di Sumenep ditambang tidak ada dampak positifnya bagi masyarakat. Melainkan hanya menguntungkan pengusaha kapital dan korporasi saja.
“Untuk masyarakat lokal tidak ada sisi positifnya sama sekali dengan penambangan fosfat, yang ada hanya sisi negatif berupa kerusakan lingkungan,” tuturnya.
Di Sumenep sendiri sebenarnya ada 22 titik kandungan fosfat, namun dalam zonasi pesisir ada tujuh wilayah. Meski banyak potensi fosfat ia meminta agar tidak dieksplorasi demi kesejahteraan bersama jangka panjang masyarakat Sumenep.
“Jika pemerintah tetap memaksa memberikan izin pertambangan fosfat di wilayah Sumenep, saya sebagai aktivis tentu akan menulis dan mengadvokasi masyarakat untuk menolak, itu demi lestarinya alam Sumenep,” tambahnya. (Emha/Man)