Pena Madura, Sumenep, 14 Januari 2021 – Menyikapi kemelut perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, aktivis lingkungan dari Barisan Ajaga Tanah Ajaga Na’poto (BATAN) angkat bicara. Karena rencana perubahan RTRW Sumenep itu, disinyalir sebagai upaya melegalkan pertambangan fosfat di Wilayah Sumenep.
Ketua BATAN Sumenep, Kiai A Dardiri Zubairi meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep belajar dari kasus habisnya pesisir pantai Sumenep, akibat alih fungsi lahan untuk tambak udang. Jika pertambangan fosfat dilegalkan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal serupa.
“Pemerintah daerah harus belajar dari kasus habisnya pesisir akibat alih fungsi lahan untuk tambak udang. Dampaknya sekarang sudah terasa, masih mau ditambah dengan memberi ruang bagi pengusaha tambang,” Katanya, Kamis (14/1/2021).
Terkait soal tambang fosfat, menurutnya dimana-mana keberadaan tambang merusak bukan membangun. Ia mencontohkan Nauru, negara kaya yang jatuh miskin setelah fosfatnya ditambang. Karenanya, pihaknya meminta agar DPRD Sumenep menolak revisi Perda RTRW itu.
“Jadi tolong hentikan buat kebijakan berjangka pendek, merusak, dan bukan untuk kemaslahatan rakyat Sumenep,” Jelasnya.
Kiai Dardiri menilai jika rencana revisi Perda RTRW dinilai tidak masuk akal, karena prosesnya tidak transparan. Tidak ada konsultasi publik dalam bentuk diskusi publik, seminar, debat terbuka di media yang memungkinkan publik bisa memberikan aspirasinya seluas-luasnya.
“Kalau pun ada yang saya dengar Bappeda cuma bikin FGD (Focus Group Discussion) tapi drafnya sudah ada, waktunya terbatas, alur FGD diarahkan untuk menyetujui,” terangnya.
Kiai yang menjabat Wakil Ketua PCNU Sumenep itu meminta agar Perda RTRW memberi kemaslahatan bagi rakyat Sumenep. Perda tersebut harus dibuat atas dasar kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang, bukan hanya jangka pendek dan untuk kebutuhan segelintir orang, kelompok, atau pengusaha.
Lebih lanjut ia menjelaskan jika revisi Perda RTRW dilakukan untuk memuluskan legalisasi pertambangan fosfat, tentunya akan menguntungkan pengusaha dan penguasa.
“Ini sekali lagi bukti bahwa seringkali ada hubungan yang saling menguntungkan antara penguasa dan pengusaha. Agar penambangan fosfat yang merusak itu (seolah olah) legal maka langkah awal dibuatlah perda RTRW yang mengakomodasi kepentingan pengusaha,” tambahnya.
“Alasannya macam-macam, agar investasi masuk, agar pertumbuhan ekonomi meningkat dan sebagainya. Tetapi ujung-ujungnya ya segelintir orang yang menikmati. Tentu tidak ada makan siang gratis bukan?,” katanya lagi.
Lalu seperti apa dampak tambang fosfat? kata Kiai Dardiri, tanah di Sumenep merupakan gugusan batu karst. Karst adalah tandon tempat menyimpan air ketika musim hujan.
“Kalau fosfat diambil tandonnya akan rusak. Dalam jangka panjang, kita akan mengalami kekeringan. Dibeberapa titik jika musim kemarau sumur-sumur rakyat sudah kekurangan air,” tuturnya.
Selain itu, tambang fosfat juga akan menyebabkan banjir, karena wilayah baru karst atau wilayah tambang fosfat itu adalah wilayah resapan air.
“Banjir di Sumenep yang makin besar dari tahun ke tahun ini akibat rusaknya wilayah resapan air di hulu sungai Kebunagung dan sepanjang pesisir sungai. Bayangkan jika terjadi penambangan fosfat, akan makin mengerikan,” paparnya.
Tidak hanya itu, tambang fosfat juga akan mengurangi kesuburan tanah. Karena fosfat merupakan salah satu unsur yang menyuburkan tanah.
“Dan ini akan merugikan para petani. Dampaknya tentu pada ketahanan pangan,” tutupnya. (Emha/Man)