Ketua Banggar DPR RI Sarankan Pemerintah Jangan Cuma Kejar Pajak tapi Bangun Strategi Investasi

oleh
MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI

Pena Madura, Nasional, 22 Agustus 2025 – Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, menegaskan agar pemerintah tidak terburu-buru menaikkan tarif pajak di tengah kondisi ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya pulih. Ia menyarankan pemerintah lebih fokus pada membangun strategi investasi.

Menurut Said, strategi perpajakan harus difokuskan pada perluasan basis usaha, bukan sekadar mengejar setoran dari wajib pajak lama.

“Jangan sampai Ditjen Pajak berburu di kebun binatang, tetapi harus memperluas kebun binatang. Dengan kata lain, perlu memperbesar skala usaha para pelaku usaha dan memperbanyak pelaku usaha agar memberikan sumbangan besar bagi penerimaan perpajakan,” kata Said , Jumat (22/8/2025).

Said Abdullah menjelaskan, situasi global saat ini masih dibayangi ketidakpastian akibat perang konvensional dan perang dagang yang semakin memberi dampak besar terhadap perekonomian dunia. Kondisi itu, sebut Said, mengingatkan pada idiom “same storm, different boats”, di mana banyak negara menghadapi masalah serupa, tetapi dengan kemampuan berbeda untuk menanganinya. Meski demikian, ia optimistis Indonesia memiliki kemampuan untuk menghadapi badai eksternal ini.

Oleh karena itu, Said berharap pemerintah mengajukan asumsi ekonomi makro yang realistis, namun tetap memberi harapan bahwa perekonomian nasional bisa tumbuh inklusif.

“Kebijakan fiskal harus adaptif, komprehensif, dan bisa dijalankan secara efektif,” tegasnya.

Menurut Said, sekalipun dunia menghadapi tantangan, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2026 berada di angka 3 persen, lebih tinggi dibanding 2,8 persen pada 2025. Sementara itu, perekonomian negara-negara berkembang diproyeksikan tumbuh 3,9 persen pada 2026.

“Proyeksi ini mestinya memberikan peluang bagi perekonomian nasional untuk tumbuh lebih baik tahun depan. Kita harus mengubah pola pikir, menempatkan krisis sekecil apapun sebagai peluang mengubah tatanan ekonomi. Kecepatan merespons dan melompat lebih tinggi menjadi kunci menghadapi krisis,” ujar Said.

Said menilai tren proteksionisme akibat perang dagang harus dijawab dengan kemandirian pangan dan energi. Menurutnya, Indonesia tidak bisa hanya bertahan dengan strategi defisit APBN.

“Kita perlu strategi kebijakan ofensif dalam membangun ketahanan energi dan pangan. India memiliki strategic petroleum reserve. Kita apa? Itu yang harus dijawab,” tegas Said.

Ia pun mengapresiasi pertumbuhan sektor pertanian yang mencapai 10,52 persen dan sektor peternakan 8,8 persen pada kuartal I 2025. Menurut Said, capaian tersebut menjadi permulaan baik di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan harus ditopang kebijakan strategis jangka panjang. Pada kuartal I-2025, ekspor nasional tumbuh 6,6 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.

Said berharap tren tersebut berlanjut meski Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengumumkan kebijakan tarif perdagangan yang tinggi. Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya hal itu sudah diprediksikan. Akan tetapi, ia tak mengira tarifnya sedemikian tinggi, dan mengguncang perdagangan global.

Sekalipun ada koreksi atas sebagian kebijakan tersebut, kata Said, dampaknya mungkin akan terasa.

“Ekspor nasional harus tetap dijaga agar neraca perdagangan bertahan di zona positif dan menjadi pilar pertumbuhan ekonomi. Diplomasi perdagangan harus lebih adaptif dan ekspansif, tidak bergantung pada Tiongkok dan Amerika Serikat, agar kita tidak mudah terseret konflik dagang,” katanya.

Namun, Said mengingatkan perang dagang dan konflik geopolitik juga mengendurkan investasi global. Pertumbuhan investasi domestik hanya 2,12 persen pada kuartal I-2025, karena banyak investor memilih wait and see.

“Situasi ini bisa kita baca sebagai peluang. Pemerintah harus menyiapkan strategi investasi yang komprehensif agar investor yakin menanam modal,” ujar Said. Hal itu, lanjut dia, bertujuan meyakinkan investor bahwa modal yang mereka injeksikan ke Indonesia menjanjikan imbal hasil yang sangat menarik, terutama pada sektor riil.

Tujuannya mendorong permintaan dan menyerap lapangan kerja baru. Rupiah, pendanaan, dan kebijakan moneter Said juga menyoroti pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Menurutnya, hal ini memberi peluang kenaikan devisa jika ekspor tumbuh, namun juga bisa membuat biaya impor lebih mahal.

Selain itu, perluasan skema pembayaran internasional juga penting agar tidak semata-mata bertumpu pada dolar AS.

“Seperti yang berulang kali kami ingatkan, perlu diperluas penggunaan local currency dalam transaksi ekspor-impor dengan mitra dagang strategis,” kata Said Abdullah.

pemerintah juga didorong mengembangkan strategi pendanaan baru agar dana pihak ketiga (DPK) di perbankan lebih menggerakkan sektor riil, bukan terserap banyak pada Surat Berharga Negara (SBN).

Dengan imbal hasil SBN yang terus menjanjikan, Said menilai kondisi ini berpotensi membuat perbankan lebih memilih SBN dibanding menyalurkan kredit ke sektor riil yang dinilai berisiko.

“Nasabah kelas kakap lebih tertarik ke SBN ketimbang menyimpan dana di deposito. Hal yang sama terjadi di perbankan, lebih senang membelanjakan DPK ke SBN ketimbang menyalurkan kredit produktif. Kami yakin Saudari Menteri Keuangan dan Gubernur BI memiliki cara untuk menjawab hal ini,” ujarnya.

Said menambahkan, dinamika perekonomian dan geopolitik yang cepat berubah berdampak langsung pada volatilitas pasar keuangan. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi menurutnya harus cepat, luwes, dan mampu menjawab persoalan secara tepat.

“Kebijakan fiskal dan moneter harus terintegrasi menjadi navigasi yang jelas. Jangan sampai menimbulkan keraguan bagi pelaku ekonomi, dan yang paling penting tetap menjaga kepentingan nasional,” ucapnya.

Dalam RAPBN 2026, pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 3.147,7 triliun, atau naik Rp 282,2 triliun dibanding target 2025. Peningkatan tersebut ditopang terutama dari penerimaan perpajakan yang dipatok Rp 2.692 triliun atau naik dari Rp 2.387,3 triliun pada 2025.

“Kami mendukung peningkatan penerimaan perpajakan ini. Namun, Pimpinan Banggar mengingatkan pemerintah agar tidak menaikkan tarif pajak, apalagi kondisi perekonomian rakyat belum sepenuhnya pulih. Jangan sampai Ditjen Pajak berburu di kebun binatang, tetapi harus memperluas kebun binatang,” jelas Said. Dengan kata lain, lanjut dia, memperbesar skala usaha dan memperbanyak pelaku usaha agar bisa memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara.

Said juga menyoroti berkurangnya Dana Transfer ke Daerah dan Desa (TKDD) yang turun drastis dari Rp 919 triliun pada 2025 menjadi Rp 650 triliun dalam RAPBN 2026, atau terpangkas Rp 269 triliun. Menurutnya, hal itu berpotensi menghambat pelayanan publik serta memaksa pemerintah daerah mengambil kebijakan baru yang rentan menaikkan pajak daerah dan pada akhirnya membebani rakyat.

“Selain itu, penguatan anggaran dan fiskal daerah merupakan mandat otonomi daerah yang diatur konstitusi kita,” tambah Said.

Said juga meminta pemerintah memperbarui data kemiskinan seiring perubahan angka purchasing power parity (PPP) sebagaimana dilakukan Bank Dunia.

“Pemutakhiran data penting agar kebijakan penanggulangan kemiskinan disusun berdasarkan pijakan yang akurat,” katanya.

Menutup paparannya, Said menegaskan bahwa berbagai program besar pemerintah seperti MBG, Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat harus benar-benar menjadi game changer.

“Program-program itu harus mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik. Jangan sampai kita wasting time dan kehilangan sumber daya sia-sia. Kuncinya ada pada tata kelola yang akuntabel, transparan, dan partisipatif,” pungkasnya. (Red/Emha)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *